PERAN PEMERINTAH SIPIL DI
INDONESIA
MAKALAH
UntukMemenuhiTugas
Mata Kuliah “……………..”
DosenPengampu :………………
Oleh,
……………………………
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
JURUSAN SYARI`AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2018
KATA PENGANTAR
Puji Syukur
kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan
karuniaNyalah, Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, tepat pada
waktunya. Adapun tujuan penulisan Makalah ini adalah untuk memenuhi tugasMata
Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan,
dengan judul “Peran Pemerintah Sipil di
Indonesia”
Dengan
membuat tugas ini kami diharapkan untuk mamapu memahami tentang hak dan
kewajiban warga Negara Indonesia. Dalam penyelesaian Makalah ini, kami banyak
mengalami kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang
menunjang. Namun, berkat bimbingan dan bantuan dari Dosen Pengampu Mata Kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan pengarahan guna penyusunan
makalah ini, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan cukup baik.
Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat
positif, guna penyusunan makalah yang lebih baik lagi dimasa yang akan datang.
Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang hak dan kewajiban warga negara Indonesia.
Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang hak dan kewajiban warga negara Indonesia.
Pamekasan,
08 September 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan................................................................................................. 2
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pemerintahan Sipil.............................................................................................. 3
B. Hubungan pemerintahan sipil dan militer di Indonesia...................................... 6
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................... 11
B. Saran................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Negara
adalah sebuah istilah yang secara terminologi berarti organisasi tertinggi di
antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup
dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Suatu
Negara haruslah memiliki sedikitnya 3 unsur yang menjadikan Negara tersebut
berdaulat di tengah-tengah negara lainnya. Mahfud M.D. menyebutkan 3 unsur
penting tersebut sebagai unsur konstitutif. Unsur-unsur tersebut antara lain
adalah : Rakyat, Wilayah, dan Pemerintah, ditambah dengan pengakuan dari Negara
lain.
Berbicara
tentang bentuk pemerintahan, kita mesti faham terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan negara dan perbedaannya dengan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan
di awal, sejatinya negara adalah sebuah organisasi. Selayaknya organisasi, maka
negara pun memiliki peraturan, selain itu negara juga memiliki sebuah badan
yang berfungsi merumuskan, menjalankan dan mengawasi peraturan itu.
Selanjutnya,
dalam perjalanannya berkembang menjadi beberapa bentuk pemerintahan, sejarah
mencatat banyak negara yang memiliki bentuk pemerintahan yang berbeda-beda
karena hal tersebut berdasar kepada para penguasa negara tersebut. Dalam
konteks ini muncul bentuk pemerintahan sipil dan pemerintahan militer. Tentu
saja kedua bentuk pemerintahan tersebut mempunyai karakteristik yang satu sama
lain berbeda.
Hubungan
Sipil-Militer adalah satu perkara yang amat penting bagi satu bangsa karena
berpengaruh besar kepada ketahanan nasionalnya. Hal itu juga berlaku bagi
bangsa Indonesia. Pengertian Hubungan Sipil-Militer semula tidak dikenal di
Indonesia dan baru dipergunakan setelah pengaruh dunia Barat, khususnya yang
berpandangan liberal, makin kuat. Mula-mula itupun terbatas pada kalangan
terpelajar yang banyak berhubungan dengan ilmu sosial yang berasal dari dunia
barat. Akan tetapi lambat laun pengertian itu menyebar di semua kalangan dan
sekarang sudah menjadi pengertian yang diakui dan dipergunakan secara umum di
Indonesia. Namun ada satu perbedaan yang menonjol dalam penggunaan pengertian
itu antara mereka yang hidup dalam alam sosial barat dengan bangsa Indonesia
yang menerima dan menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Di dunia Barat yang berpaham liberal Hubungan Sipil-Militer senantiasa berarti
supremasi Sipil atas Militer, sedangkan di Republik Indonesia yang berhaluan
Pancasila tidak dengan sendirinya Hubungan Sipil-Militer berarti supremasi
sipil atas militer. Bahkan dengan memperhatikan bahwa Panca Sila menekankan
faktor kekeluargaan dan kerukunan justru tidak ada supremasi satu golongan
masyarakat atas yang lain, melainkan dalam kebersamaan memperjuangkan dan
mengusahakan hal yang terbaik bagi bangsa, negara dan masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
hal-hal yang tersurat dalam latar belakang, maka penulis dalam hal ini akan
merumuskan permasalahan dalam beberapa pertanyaan:
- Apa Pengertian Pemerintahan Sipil dan karakteristiknya ?
- Bagaimana Hubungan Pemerintahan Sipil dan Militer di Indonesia ?
C.
Tujuan Masalah
Dengan
berdasar kepada poin-poin pertanyaan tersebut diatas, maka penulis mempunyai
tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu :
- Memahami Pengertian Pemerintahan Sipil dan karakteristiknya
- Memahami Hubungan Pemerintahan Sipil dan Militer di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemerintahan Sipil
1. Pengertian Pemerintahan Sipil
Sebelum
berbicara tentang pemerintahan sipil, seyogyanya perlu diketahui arti dari
istilah pemerintahan. Menurut CF Strong dalam bukunya yang berjudul Modern
Political Construction terbit tahun 1960 dikemukakan bahwa pemerintah itu dalam
arti luas meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah
juga bertugas memelihara perdamaian dan keamanan. Oleh karena itu pemerintah
harus memiliki (1) kekuasaan militer, (2) kekuasaan legislatif, dan (3) kekuasaan
keuangan.[1]
Sedangkan
menurut SE Filner dalam buku Comperative Gonverment istilah pemerintahan
memiliki 4 arti yaitu :
1. kegiatan atau proses memerintah
2. masalah-masalah kenegaraan
3. pejabat yang dibebani tugas untuk
memerintah
Adapun
dalam melaksanakan pemerintahan, sejarah mengenal pula bentuk pemerintahan
sipil dan militer. Pembagian bentuk pemerintahan ini berdasarkan kriteria gaya
dan sifat memerintah sebuah pemerintah.
Yang
pertama adalah Pemerintahan Sipil, disebutkan bahwa pemerintahan sipil adalah
pemerintahan di mana gaya pengambilan keputusan diambil dengan gaya sipil.
Sebelum sebuah keputusan menjadi perintah, keputusan itu dibicarakan terlebih
dahulu, dirembukkan dan kalau perlu diputuskan lewat pemungutan suara
(referendum). Setelah itu pun sebuah keputusan harus menunggu pengesahan
terlebih dahulu dari lembaga negara yang berwenang lewat sebuah sidang.
Sedangkan
Sayidiman Suryohadiprojo menyatakan bahwa Perkataan Sipil merupakan satu
pengertian yang menyangkut kewarganegaraan (Website’s
Ninth New Collegiate Dictionary : Civil : relating to citizens). Atau dapat
dikatakan bahwa Sipil adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan
masyarakat, atau warga negara pada umumnya.[3]
2. Karakteristik Pemerintahan Sipil
Eric
Nordlinger dalam bukunya “Militer dalam Politik” dikemukakan ada 3 bentuk
pemerintahan sipil :
a. Pemerintahan sipil Tradisional
Bentuk
pemerintahan sipil ini terjadi karena tidak adanya perbedaan antara sipil dan
militer, tanpa perbedaan maka tidak akan timbul konflik yang serius diantara
mereka. dengan demikian tidak terjadi campur tangan militer.
Bentuk
pemerintahan sipil tradisional begitu berpengaruh di bawah sistem pemerintahan
kerajaan pada abad ke-17 dan 18, mereka cenderung untuk tidak menganggap diri
mereka sebagai politisi, walaupun ketika sedang memerintah mereka telah
dicekoki dengan ciri-ciri sikap politik yang sama, yang ternyata kurang dikembangkan
oleh elit sipil.[4]
b. Pemerintahan sipil Liberal
Model
pemerintahan liberal didasarkan pada pemisahan para elit berkenaan keahlian dan
tanggung jawab masing-masing pemegang jabatan tinggi di dalam pemerintahan.
Tapi sejalan Model liberal akan menutup kemungkinan militer untuk menekuni
arena dan kegiatan politik. Didalam tindakan dan pelaksanaannya, pemerintah
menghargai kedudukan, kepakaran, dan netralitas pihak militer.[5]
c. Pemerintahan sipil Serapan
Dalam
model serapan ini, pemerintahan sipil memperoleh pengabdian dan kesetiaan
dengan cara menanamkan ide untuk menyatakan ideologi, dan para ahli politik ke
dalam tubuh angkatan bersenjata mereka. Model serapan ini telah digunakan
secara meluas dalam rezim-rezim komunis. Militer dipisahkan dari bidang sipil
karena keahlian profesionalnya, tetapi sejalan dari segi ideologi.
Dalam
sejarahnya, pemerintahan sipil ini banyak dianut oleh negara-negara barat,
karena kebanyakan dari mereka berideologi liberal yang memunculkan supremasi
sipil atas militer (civilian supremacy
upon the military). Dalam kata lain militer adalah subordinat dari
pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum.
Berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia yang berideologikan Pancasila,
sipil dan militer adalah satu bagian, tidak ada supremasi di antara keduanya.
Yang harus dimunculkan adalah bagaimana hubungan keduanya dapat menjamin
kerukunan hidup rakyat Indonesia itu sendiri. Sehingga tercipta kebersamaan
dalam memperjuangkan kepentingan bangsa.
Dalam
hal ini muncul karakteristik pemerintahan sipil yang berpijak atas hubungannya
dengan militer, antara lain pemerintahan sipil adalah sebuah bentuk
pemerintahan yang bergaya sipil, semua keputusan pemerintah dapat menjadi
perintah apabila telah dimusyawarahkan terlebih dahulu dan diambil keputusannya
dalam suatu pemungutan suara (referendum). Dan telah mendapat pengesahan dari
lembaga negara yang berwenang.
B.
Hubungan pemerintahan sipil dan militer di Indonesia
Sebagai
bangsa Indonesia kita mestinya bangga dengan TNI, karena apa? ternyata
Indonesia memperoleh peringkat yang luar biasa dalam bidang kemiliteran. Jadi
sebenarnya tidak beralasan kalau kita meremehkan tentara nasional kita. Menurut
data yang diambil oleh World Military Strengh Ranking. Militer Indonesia berada
pada posisi ke-14 dari seluruh negara di dunia ini, di atas negara-negara maju
lainnya seperti Kanada, Australia, dsb.
[6]Kembali
kepada sejarah militer Indonesia, pengambilan alih kekuasaan oleh pihak militer
di Indonesia sekiranya sudah lama diramalkan. Militer Indonesia tidak pernah
jauh dari politik, sejak dari kemerdekaan pada tahun 1945. Organisasi nasional
militer pun diperlukan untuk tugas yang maha penting yakni membangun suatu
negara bangsa dari beribu-ribu pulau yang membentuk negeri ini.
Pada
masa itu terjadi kompetisi politik antara Militer dan Partai Komunis Indonesia
yang kadang kala bersifat keras, Komunis yang dalam hal ini sejak kemerdekaan
ada dalam naungan Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno bersaing ketat
dengan golongan elit militer. Dan puncaknya adalah terjadinya pemberontakan
G30S/PKI.
Sampai
munculnya Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno dengan ikhlas memberi
Jenderal Soeharto wewenang yang diperlukan untuk memulihkan keamanan. Soekarno
yang pada saat itu dianggap sebagai presiden seumur hidup kini nyaris hanya
merupakan lambang, sampai secara resmi digantikan oleh Jenderal Soeharto pada
tanggal 27 Maret 1968.[7]
Setelah
menjadi Presiden, Soeharto memandang tugasnya adalah : memulihkan tingkat
partisipasi rakyat dalam pemerintahan, menstabilkan negeri yang secara politis
terpecah belah, dan membangun perekonomian yang telah diabaikan. Maka untuk
mendukung upaya tersebut Soeharto memutuskan untuk membentuk GOLKAR (Golongan
Karya) atau kelompok yang fungsional, mencakup buruh, petani, birokrat sipil,
birokrat militer, mahasiswa, dan intelegensia. Jika Soekarno ingin mengusahakan
agar kelompok-kelompok fungsional tersebut terlepas dari militer, maka Soeharto
lebih suka mengintergrasikan kedua badan tersebut, dalam kata lain Soeharto
telah menyertakan militer dalam politik sembari memberi fungsi politik pada
militer.[8]
Sejak
tahun 1959, menurut suatu penelitian, perwira-perwira angkatan darat secara
kasar telah memegang seperempat dari semua portofolio kabinet maupun berbagai
posisi penting pada departemen pemerintahan sipil. Pada tahun 1972, 22 dari 26
Gubernur adalah bekas perwira militer, demikian juga 67% dari bupati dan camat,
dan 40% dari kepala desa.[9]
Masuk
ke Era Reformasi, setelah lengsernya Soeharto, maka kedigdayaan Militer dalam
hal ini ABRI/TNI telah usai, Sejak itu nyaris tiada hari tanpa hujatan dan caci
maki terhadap ABRI. Jika sebelumnya tidak ada yang berani mengusik, sejak itu
keberadaan ABRI mulai banyak dipersoalkan. ABRI bukan cuma dipersalahkan,
karena telah membuat banyak orang di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, Irian Jaya,
Timor Timur, kehilangan anggota keluarganya, tetapi juga karena terlibat
penculikan para mahasiswa dan aktivis politik, karena dianggap tidak mampu lagi
mengatasi kerusuhan di berbagai tempat yang telah menelan korban ratusan nyawa
sejak Mei 1998.
Saat
ini ABRI harus menghadapi kenyataan sebaliknya yakni penolakan atas
keterlibatannya. Secara historis keterlibatan ABRI tersebut harus dipahami
dalam kerangka menjamin stabilitas nasional. Kalau mau jujur, sebenarnya bangsa
dan negara manapun di dunia ini membutuhkan stabilitas demi pembangunan dan
kemajuan bersama rakyatnya.
Menurut
Jenderal Wiranto, ada tiga perkembangan ekstrem yang harus dicegah dalah
hubungan sipil militer di Indonesia, yaitu: pertama, military overreach, yaitu
militer menguasai berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pada masa orde
baru; yang kedua, subjective civilian control, yaitu kontrol subyektif
pemerintahan sipil terhadap militer seperti yang terjadi pada masa Demokrasi
Terpimpin dan Demokrasi Parlementer; ketiga, pemisahan rakyat dari ABRI[10]
Dalam
pengarahannya kepada peserta Lokakarya Kepemimpinan Pertahanan 2010 di Istana
Negara, Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, tidak perlu lagi
ada jarak antara militer dan non militer pada era demokrasi. Beliau juga menyatakan
saat ini tidak perlu lagi ada dikotomi antara sipil dan militer dalam mengemban
tugas untuk negara. "Dulu pernah ada jarak antara militer dan nonmiliter,
antara mahasiswa di perguruan tinggi dan taruna di akademi. Tapi dengan era
demokrasi ini dengan perubahan di TNI tidak lagi menjalankan politik praktis
maka sudah tidak ada perbedaan," tutur Presiden.[11]
Lalu,
apakah artinya dalam konteks hubungan sipil-militer di Indonesia? Dalam sejarah
Indonesia, dikotomi sipil-militer bukanlah satu isu baru. Jika sejauh ini ABRI
terkesan tidak suka dan selalu mengelak adanya dikotomi sipil-militer di
Indonesia, sikap semacam itu tidak lepas dari penafsiran diri ABRI dalam
konteks sejarah Indonesia. ABRI juga mudah curiga kepada cendekiawan, seniman,
aktivis LSM dan kalangan intelektual lain yang memang selalu sangat antusias
memperbincangkan hubungan sipil-militer, yang selalu melemparkan isu-isu
demokratisasi, kebebasan berpendapat dan HAM.
Namun,
benar juga bahwa hal ini lalu membuat penafsiran terhadap batas-batas antara
ranah politik dan perang, antara tugas-tugas sipil dan militer, makin tidak
jelas. Antara perang dan politik ibarat dua sisi pada sekeping mata uang.
Perang adalah jalan lain dari politik. Ini lah yang terjadi pada awal
pembentukan Indonesia.
Sejak
awal kelahirannya ABRI tidak pernah mempersoalkan presiden dari kalangan sipil
dan tidak mendesakkan tampilnya pimpinan nasional dari kalangan militer. Dalam
sejarahnya Panglima Besar Soedirman memberikan keteladanan dalam membentuk
sikap TNI yang mengakui pemerintahan di tangan sipil. Untuk itu dibuktikan oleh
Panglima Besar Soedirman ketika kembali ke Yogyakarta dari medan perjuangan
bergerilya, TNI tetap mengakui kekuasaan tertinggi berada di tangan Presiden
Soekarno.[12]
Satu
hal yang perlu kita (baik militer maupun sipil) refleksikan bahwa militer Indonesia telah berkembang
menjadi militer profesional. Dunia kemiliteran telah berkembang menjadi dunia
profesional, yang bekerja dan mengembangkan solidaritas tidak hanya atas dasar
"semangat patriotisme" tapi atas dasar penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta ketrampilan khusus (profesi) yang terkait dengan
kependidikan.
Tanggung
jawabnya terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia, dengan demikian, bisa
ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Kalau dulu tanggung jawab ini
ditafsirkan secara politis-ideologis, kini perlu dimaknai sebagai tanggung
jawab profesional. Kalau dulu ABRI di identifikasi dan dikenal sebagai tentara
rakyat kini harus tampil sebagai militer profesional (TNI adalah tentara
professional yang mengabdi kepada rakyat).
Namun,
hal ini tidak berarti militer kehilangan peran politiknya. Peran politik TNI,
menurut saya, tidak boleh melebihi fungsi dasarnya yaitu pertahanan-keamanan
negara, dan hal itu kini bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Peran
tersebut cukup diletakkan pada tataran "kebijakan" (policy) di
tingkat pusat, dan tidak perlu diterjemahkan lebih jauh dengan konsep kekaryaan
seperti pada masa Orde Baru. Dengan demikian, militer bukan lah institusi untuk
merintis karier politik dan meraih insentif ekonomi melalui model kekaryaan.
Jika ada militer yang ingin menjadi bupati, gubernur, menteri bahkan presiden,
maka harus melepas jaket hijau-lorengnya.
Mereka
adalah warga sipil, sehingga jabatan politik yang didudukinya bukan dalam
kerangka doktrin dwifungsi, tapi sebagai hak politik setiap warga negara.
Fungsi pertahanan keamanan sebagai TNI professional itu juga menuntut TNI untuk
hanya punya komitmen dan tangung jawab moral terhadap eksistensi Negara Kesatuan
RI. Konsekuensi moral professional dari komitmen dan tanggung jawab moral ini
adalah bahwa TNI hanya mempunyai loyalitas kepada Negara dan bukan kepada
pemerintah. Loyalitas TNI kepada pemerintah hanya sejauh pemerintah yang
berkuasa. Tidak perduli sipil atau militer, menjalankan kekuasaan negara sesuai
dengan tuntutan dan cita-cita moral bangsa, yaitu demi menjamin kehidupan
bersama yang demokratis, adil, makmur, berprikemanusiaan dan menjamin hak asasi
manusia.
Maka
tidak perlu dibicarakan lagi adanya civilian supremacy yang dianut dunia Barat,
karena adanya supremasi satu golongan terhadap golongan lain tidak sesuai
dengan pandangan Panca Sila dan dapat menjadi benih konflik. Namun secara
organisatoris dengan sendirinya setiap unsur negara harus menjalankan keputusan
dan perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI. Maka tanpa ada ketentuan
supremasi sipil dengan sendirinya TNI harus tunduk kepada segala kepatuhan dan
perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah, siapapun yang duduk dalam pemerintah
itu. Sebaliknya, sesuai dengan jati dirinya TNI wajib dan berhak menyampaikan
pendiriannya kepada Pemerintah sekalipun mungkin pendirian itu berbeda dari
pandangan Pemerintah. Dalam mengembangkan pendirian itu TNI harus selalu
berpedoman pada Panca Sila dan Sapta Marga serta Sumpah Prajurit yang secara
hakiki berarti bahwa TNI harus selalu memperhatikan berbagai aspirasi yang berkembang
dalam masyarakat.[13]
Yang
sekarang diperlukan adalah tekad untuk melaksanakan proses ini secara konsisten
dan sabar serta memelihara hasilnya secara terus menerus. Hubungan
Sipil-militer yang dihasilkan kemudian akan merupakan faktor positif dalam
perwujudan Ketahanan nasional Indonesia, termasuk pembinaan daya saing nasional
bangsa kita.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
melaksanakan pemerintahan, sejarah mengenal pula bentuk pemerintahan sipil dan
militer. Pembagian bentuk pemerintahan ini berdasarkan kriteria gaya dan sifat
memerintah sebuah pemerintah.
Pemerintahan
Sipil adalah suatu bentuk pemerintahan yang menggunakan gaya sipil dalam
menjalankan kehidupan pemerintahannya, sedangkan pemerintahan militer adalah
suatu pemerintahan yang dipimpin oleh penguasa diktator yang mengandalkan gaya
militer yang sarat dengan disiplin dan kental dengan ketentaraan.
Hubungan
antara Sipil dan Militer dalam sejarah lebih diungkapkan dalam bentuk ekstrim
karena kegagalan pemerintahan sipil yang menyebabkan terjadinya kudeta-kudeta,
dan ketidakstabilan rezim militer yang tidak punya opsi memerintah lebih baik
dari pemerintahan sipil. Sehingga pada akhirnya kedua hal tersebut tidak dapat
berkembang sesuai dengan tujuan yang dimilikinya.
Dan
pada saat ini ketika semua hal dihadapkan kepada profesionalisme yang
menitikberatkan sejauhmana peran seorang warga negara terhadap negaranya, maka
militer memfokuskan diri dalam ranahnya sendiri, demikian pula dengan sipil
yang sekarang terintegrasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Sehingga tidak akan
terjadi supremasi sipil terhadap militer.
B.
Saran
Pergulatan
politik antara ranah sipil dan militer telah menghasilkan supremasi di antara
kedua bentuk pemerintahan tersebut, maka seyogyanya untuk menghindari hal
tersebut diperlukan langkah perubahan kearah yang positif sehingga akan
memunculkan hubungan yang baik antara sipil dan militer dan dapat menunjang
kepada terciptanya ketahanan nasional.
DAFTAR PUSTAK
Syafaruddin,
Makalah KONSEP DAN METODOLOGI
PERBANDINGAN PEMERINTAH, disajikan tanggal 5 Maret 2010
http://www.detik.com/berita/199905/sayidiman.html,
Diakeses Pada Hari Jumat, Tanggal 07 September 2018.
Nordlinger
Eric, Militer dalam Politik, Jakarta
: Rineka Cipta 2004
http://www.globalfirepower.com/,
Diakeses Pada Hari Jumat, Tanggal 07 September 2018.
Janowitz
Morris, Hubungan Sipil Militer,
Jakarta: Bina Aksara, 2005
E-book,
Ikrar Nusa Bhakti, Hubungan Baru Sipil
Militer
http://www.antaranews.com/berita/1280488947/presiden-tidak-perlu-ada-dikotomi-sipil-militer,
Diakeses Pada Hari Jumat, Tanggal 07 September 2018.
Mayjen
TNI Agus Wirahadikusumah disampaikan dalam seminar nasional "Mencari Format Baru
HubunganSipil-Militer" Jurusan Ilmu Politik Fisip UI, 24 - 25 Mei
2009.
http://www.detik.com/berita/199905/sayidiman.html,
Diakeses Pada Hari Jumat, Tanggal 07 September 2018
[1] Syafaruddin, Makalah KONSEP DAN METODOLOGI PERBANDINGAN
PEMERINTAH, disajikan tanggal 5 Maret 2010, halaman 5
[2] Ibid, hlm. 6.
[3] http://www.detik.com/berita/199905/sayidiman.html,
Diakeses Pada Hari Jumat, Tanggal 07 September 2018.
[4] Eric Nordlinger, Militer dalam Politik, (Jakarta : Rineka
Cipta 2004), hlm 18-19.
[5] Eric Nordlinger, Militer dalam Politik,………………………hlm.
20-21.
[6] http://www.globalfirepower.com/,
Diakeses Pada Hari Jumat, Tanggal 07 September 2018.
[7] Morris Janowitz, Hubungan Sipil Militer, (Jakarta: Bina
Aksara, 2005), hlm. 14.
[8] Morris Janowitz, Hubungan Sipil Militer,……………………hlm
15-16.
[9] Ibid, hlm. 17.
[10] E-book, Ikrar Nusa Bhakti, Hubungan Baru Sipil
Militer, hlm. 9
[11] http://www.antaranews.com/berita/1280488947/presiden-tidak-perlu-ada-dikotomi-sipil-militer,
Diakeses Pada Hari Jumat, Tanggal 07 September 2018.
[12] Mayjen TNI Agus
Wirahadikusumah disampaikan dalam seminar nasional "Mencari Format Baru HubunganSipil-Militer" Jurusan Ilmu
Politik Fisip UI, 24 - 25 Mei 2009.
[13] http://www.detik.com/berita/199905/sayidiman.html,
Diakeses Pada Hari Jumat, Tanggal 07 September 2018.
No comments:
Post a Comment