Saturday, February 6, 2016

Biografis Muhammad naquib al-Attas


A.    Biografis Muhammad naquib al-Attas
Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Bila dilihat dari garis keturunanya,  al-Attas termsuk keluarga Ba’alawi di Hadramaut dengan silsilah yang sampai pada Imam Husein, cucuk Rasulullah SAW. Ibunya adalah Syarifah Raqun al ‘Aidrus, berasal dari Bogor, Jawa Barat yang merupaka Ningrat Sunda di Singapura. Melihat dari garis keturunannya, dapat dikatakan bahwa al-Attas merupakan “bibit unggul” dalam percatuaran perkembangan intelektual di Indonesia dan Melaysia. Factor intern keluarga inilah yang selanjutnya membentuk karakter dasar dalam dirinya.[1]
Sejarah pendidikannya dimulai, Ketika berusia 5 tahun, al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Di sini al-Attas di maksukkan kedalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary Scool sampai usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai Malaysia,maka al-Attas dan keluarganya pindah lagi ke Indonesia. Di sini, ia kemudiaan melanjutkan pendidikan di sekolah Al-Urwah al-Wusta di Sukabumi selama lima tahun. Di tempat ini , al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi islam yang kuat. Hal inibisa di pahami, karena saat itu, di Sukabumi inibisa di pahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan Tarekat Naqsabandiyah.[2] Dalam buku ini sudah sesuai dengan beberaparefrensi yang kami baca, Namun, dalamu buku ini tidak dijelaskan begitu mendetail tentang sejarah pendidikan al-Attas,
Karena mendorong oleh panggilan batinnya untuk mengamalkan imunya yang di perolah di sukabum, sekembalinya ke Malaysia, al-Attas memasuku dunia militer dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan dalam upaya mengusir penjajah jepang. Dalam bidang kemiliteran ini, al-Attas telah menunjukkan kecerdasannya, sehingga atasannya memilih dia sebagai salah satu peserta pendidika militer yang lebih tinggi.[3] Selai mengikuti pendidikan militer, al-Attas juga sering pergi ke Negara eropa lainnya (terutama Sepanyol) dan afrika utara untuk mengunjungi tempat-tempat yang terkenal dengan tradisii intlektual, seni dan gaya bangunan ke islam lainnya.[4]
Pada tahun 1957, setelah Malaysia merdeka al-Attas memundurkan diri dari dinas militer dan mengembangkan potensi dasarnya, yakni di bidang intlektual. [5]Al-Attas sempat masuk universitas Malaya selama dua tahun. Berkat kecerdasan dan ketekunannya ia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute Of Islamic studies, McGill Canada. Dalam waktu relatif singkat, yakni pada tahun 1959-1962, dia berhasil menggodol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniy and the wujudiyyah of 17th Century Acheh. Dia sangat tertarik dengan praktis Sufi yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, sehingga cukup wajar bila tesis yang diangkkat adalah konsep wujudiyah al-Raniriy. Salah satu alasannya adalah dia ingin membuktikan bahwa islamisasiyang berkembang di kawasan ud bukan dilaksanakan oleh colonial belanda, melainkan murni dari upaya umat islam sendiri.[6] Adapun gelar dogtor di perolehnya dari school of orientalan and Africbejran studies, Unvrsity of  London (1963-1965), dengan bersertai berjudul The Myisticism of Hamzah fansuri (diterbitkan 1970).[7]
Disamping itu ia mengkritisi metodologi perbagai displin ilmu, filsafat, kebudayaan dan politik yang telah terbaratkan.[8] Menurut Samsul Nizar di dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis Dan Praktis, mengatakan bahwa, sampai saat ini sudah ada kurang lebih 15 karya yang telah dibukukan. Belum termasuk makalah-makalah yang tersebar di berbagai seminar yang belum sempat di bukukan. Sedangakan, Abuddin Nata di dalam bukunyaPemikiran Pendidikan Islam Dan Barat, mengatakan bahwa karya tulis yang dihasilkan al-Attas ada 8 buku yaitu: (1) al-raniry and the wujudiah of 17thn century Aceh (tesis s2 di McGill university); (2) Some Aspects of Sufism as understood and Practiced Among the Malays  yang telah diterbitkan oleh Malaysia Sociological Research di Singapura pada tahun 1963; (3)the origin of the malay sha’ir, (4) islam  the history and culture of the Malays, (5) coments on the Re Examination of al-Raniri’s hujjad al-shiddiq: A Refutation The Mysticism of  Hazah Fansuri; (6) Islam the concept of Regilion and foundation of ethich and morality; (7) Preliminaty thought on the nature of knowledge and the devination and aims of education, dan (8) The Cocept Of Educationin Islam: A Framework For An Islamic Philosophy Of Education.
B.     Pemikiran Tentang Pendidikan
Al-Attas disamping terkenal sebagai ahli pengkaji Sejarah, Kebudayaan, Teologi, Tasawuf dan Filsafat, juga dikenal sebagai pengkaji pendidikan Islamyang Brilian yang telah menggagas formula-formula besar seperti konsep pendidikan Islam, Islamisasi ilmu, epistemologi islam dan lain-lain.[9]Pradikma pemikiran al-Attas bila dikaji secara historis merupakan sebuah pemikiran yang berawal dari dunia metafisis kemudian keduni kosmologis dan bermuara pada dunia pesikologis.[10]
a.    Konsep tentang Pendidikan Islam
Konsep pendidikan Islam pada dasarnya berusaha mewujudkan manusia yang baik atau manusia universal (Al-Insan al-Kamil), yakni sesuai dengan fungsi diciptakan manusia dimana ia membawa dua misi, yaitu (a) sebagai Abdullah (hamba Allah) dan (b) Khalifatullah Fi al-Ardh(wakil tuhan di muka bumi). [11] Bahkan, pemikiran al-Attas dalam bidang pendidkan didasarkan pada keprihatinannya terhadap penyempitan makan istilah-istilah islam yang disebabkan oleh upaya westernisasi, metologis, pemasukan hal-hal yang magis (gaib) dan sekularisasi.[12]Apabila ditelaah secara cermat, format pendidikan yang ditawarkan oleh al-Attas di atas tampak jelah bahwa dia berusaha menampilakan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan tepadu. Hal tersebut dapat secara jelas dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang universal. Insane kamil yang dimaksud adalah (1) manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua demensi kepribadian: (a) dimensi isoterik vertical yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah SWT. (b)demensi estorik, dialiktikal, horizontal, yaitu membawa misi keselamatan bagi lingkungan social alamnya. (2) manusia seimbang dalam kualitas berfikir, dzikir dan amalnya.[13]
Al-Attas memandang pendidikan sebagai suatua proses penanaman nilai bagi anak didik (manusia), yang mengacu kepada metode dan sistem penanaman secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.Sehingga dalam pandanganya, pendidikan islam harus terlebih dahulu memberkan pengetahuan kepada pesrta didik berupa pengetahuan tentang manusia disusul pengetahuan-pengetahuan lainnya. Dengan demikian dia akan tahujati dirinya dengan benar, “tahu dari mana ia , sedang dimana ia, dan mau keman ia kelak”. Jika ia tahu jati dirinya maka ia akan selalu ingat dan sadar serta mampu memposisikan dirinya, baik terhadap sesame makhluk, apalagi terhadap khaliq.
Amrullah Ahmad menilai, bahwa konsep pendidikan al-Attas mengandung peruses pengajaran seseorang dalam tatanan kosmisdan social yang akan mengantarkannya untuk menemukan fungsinya sebagai khalifah. Peserta didik harus dibimbing untuk mengenali dan mengakui Allah sebagai tuhannya, yang peda gilirannya akan melahirkan manusia-manusia ‘abid yang penuh kesadaran, memiliki kemampuan intelek tual maupun sepiritual. Dengan dmikian, akan lahirlah berbagai pandanganhidup tauhid, baik rububiyyah maupun uluhiyyah, yang meyakini kesatuan ciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind),kesatuan tututan hidup (ubity of purpose of  life), yang semua ini merupakan derivasi dari kesatuan ketuhanan (unity og Godhead).[14]
Berkaitan dengan definisi pendidikan, al-Attas lebih sepakat dengan menggunakan kata “al-ta`dib” (masdar dari kata addaba), yang dapat diartikan pada proses mendidik yang lebih pada pembinaan dan menyempurnakan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Orientasi kata ta`dib lebih terfokus pada upaya membentuk pribadi muslim yang berakhlak mulia. Merujuk pada batasan tersebut, menurut al-attas, pengunaan terma al-ta`dib  lebih cocok digunakan dalam diskursus pendidikan islam dibandingkan dengan kata  al-tarbiyah dan al-ta`lim. Hal ini disebabkan, karena pengertian ta`lim hanya ditunjukan pada proses transfer ilmu (proses pengajaran), tanpa adanya pengenalan-pengenalan lebih mendasar pada perubahan tingkah laku. Sedangkan terma al-tarbiyah penunjukan makna pendidikannya masih bersifat umum.[15] Selanjutnya al-Attas menjelas bahwa istilah ta`dib dalam tradisi ilmiah bahasa arab mengandung tiga unsur makna: pengembangan ilmiah, ilmu dan amal. Sedangkan dalam kerangka pendidikan istilah ta`dib mengandung arti; pengetahuan (`ilm), pengajaran (ta`lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Menurutnya, dalam istilah ta`dib tidak ditemukan unsur-unsur penguasaan atau pemilikan terhadap anak didik, di samping itu tidak pula menimbulkan interpretasi mendidik selain manusia, karena menurut islam, yang biasa bahkan harus dididik hanyalah manusia.[16]
Muncul perbedaan interprentasi dikalangan ilmuan Muslim tentang istilah yang dianggap paling tepat dan sesuai dipergunakan dalam pengertian pendidikan, terutama dalam tinjuan etimologi dan semantic, merupakan hal yang wajar, karena dalam bahasa arab, paling tidak ada tiga kata yang erat pengertiannya, dengan pendidikan, yaitu rabba dangan masdar tarbiyah, dan `allama dengan masdar ta`lim, juga addaba dengan masdar ta`dib. Ketiganya merujuk dari Al-Qur`an dan sunnah dan kemudian masing-masing ilmuan memiliki argumentasi (QS Al-Isra` [17]: 24; Al-`Alaq [96]: 5).[17] Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa istilah Ta`dib dalam tradisi ilmiah bahasa Arab mengandung tiga unsur makna; pengembangan imiah, ilmu dan amal. Sedangakan dalam kerangka pendidikan istilah Ta`dib mengandung arti; pengetahuan (`Ilm), pengajaran (ta`lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Menurutnya, dalam istilah ta`dib tidak ditemukan unsur-unsur pengusaan atau kepemilikan terhadap anak didik, di samping itu tidak pula menimbulkan interpretasi mendidik selain manusia.
Al-Attas menginkan pendidikan islam maupun mencetak manusia yang paripurna (al-insan al-kamil) tujuan ini mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `adb Allah (hamba Allah) dan khalafah fi al-ardl (wakil allah di muka bumi). Karena itu, system pendidikan islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Nabi Saw. Sekaligus mengarah dan membawa ummat muslim untuk meneladani perilakunya. Salah satu upaya untuk menwujudkan masyarakat yang baik, tugas pendidikan harus membentuk kepribadian setiap individu dengan baik, karena masyarakat merupakan kumpulan dari individu-individu.[18]
b.      Islamisasi pengetahuan dan epistemology islam
 Al-Attas memandang bahwa umat islam menghadapi tantangan terbesar saat ini, dengan berkembanganya ilmu pengetahuan yang telah salah dalam memahami ilmu dan keluar dari maksud dan tujuan ilmu itu sendiri. Meskipun ilmu pengetahuan yang dikembnagkan oleh peradaban barat telah memberikan manfaat dan kemkmuran kepada manusia, namun ilmu pengetahuan itu juga menimbulkan kerusakan dan kehancuran di muka bumi. Dengan sifat ilmu pengetahuan berdasarkan budaya dan peradaban barat yang memberikan ketidak pastian dan krisis yang berkepanjangan, maka itu tidak dapat diterapkan dalam kehidupan umat islma. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan dapat dijadikan alat untuk menyebarluaskan ideology dan perbedaan. Dengan demikian maka ilmu tidaklah bebas nilai (value free) tapi taat nilai (value laden).[19]
Terma de-westernisasi mempunyai arti pembersihan dari westernisasi. Jika weseternisasi dipahami sebagia pembaratan atau mengadaptasi, meniru dan mengambil alih gaya hidup barat, maka de-westernisasi dipahami sebagai upaya penglepasan sesuatu dari pengaruh-pengaruh barat. Dalam batasan al-Attas de-westernisasi adalah proses mengenal, memisahkan dan mengasingkan unsur-unsur sekuler (subtansi, roh, watak dan kepribadian kebudayaan serta peradaban Barat) dari tubuh pengetahuan yang akan merubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi pengetahuan seperti yang disajikan sekarang.[20]
Bila dilihat pernyataan al-Attas selanjutnya bahwa pada proses de-westernisasi dan islamisasi yang menjadi kedali utama adalah manusia. Jika melalui tafsiran alternatif pengetahuan tersebut, manusia mengetahui hakekat dirinya serta tujuan sejati hidupnya dan mengetahui itu, ia mencapai kebahagiaannya, maka pengetahuan itu dikonsepsikan, dievaluasi dan ditafsirkan sesuai dengan suatu pandangan tertentu, dapat disebut pengetahuan yang sejati, karena pengetahuan seperti itu telah memenuhi tujuan manusia dalam mengetahuai segalanya. Termasuk pernyataan-pernyataan dasar dan kesimpulan-kesimpulan umum sains dan filsafat yang diturunkan darinya, adalah khas bagi zaman tertentu; bahwa yang diterima hanyalah teori-teori yang di reduksi kepada unsur-unsur indrewi, walaupun ada kemungkinan melibatkan gagasan yang melampaui jangkaun pengalaman empiris.[21] Dalam epistemologi, titik berangkat bukan dari keraguan melainkan berangkat dari keyakinan akan adanya keyakinan. Sedangkan kebenaran itu sendiri secara inheren terdapat dalam diri manusia sebagai bentuk micro dari makrokosmos. Kebenaran secara inheren juga terkandung dal ayat-ayat Al-Qur`an sebagai yang diwahyukan Tuhan kepad Nabi dan Rusul-nya. Kebenaran yang demikian itu, secara inheren termuat dalam alam semesta, baik yang berkaitan dengan gejala-gejala, proses, peristiwa-peristiwa alam dan lain-lain.[22]
Menurut al-Attas, proses islamisasi ilmu pengetahuan melibatkan dua langkah utama. Pertama, prosese mengasingkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama barat dari ilmu tersebut, kedua, menyerapkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama islam ke dalamnya. Jelasnay, ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama islam setelah unsur-unsur dan konsep utama asing dikeluarkan dari setiap ranting. Oleh sebab itu, pendidikan islam harus dibangun dan bersumber dari konsep ketuhanan (ilahiyyah) dan kemanusiaan dalam rangka membangun moralitas dan akhlak manusia yang anggun untuk dapat mewujudkan kehidupan manusia yang seimbang dan integrative antara nilai-nilai ilahiyyah (spritual), kemanusiaan (insaniyyah) dan nilai-nilai budaya.[23]



DAFTAR PUSTAKA
ü  Siswanto, Filsfat Dan Pemikirin Pendidikan Islam (Surabaya: Pena Salsabila, 2015)
ü  Samsul, Haji, Nisar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis Dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers 2002)
ü  Haji, Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat (Jakarta: Rajawal Pers 2013)
ü  Samsul Nizar, Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010)
ü  Kosim Moh, Ilmu Pendidikan Islam, (Malang: STAIN Pamekasan Press, 2001)
ü  Erwin Mahrus, Samsul Kuniwan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Aruzz, Media, 2011)


[1] Siswanto, Filsfat Dan Pemikirin Pendidikan Islam (Surabaya: Pena Salsabila, 2015) hlm. 161.
[2] Samsul, Haji, Nisar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis Dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers 2002) hlm. 118.
[3] Haji, Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat (Jakarta: Rajawal Pers 2013) hlm 332.
[4] Siswanto, Filsfat Dan Pemikirin Pendidikan Islam. Hlm.162
[5] Erwin mahrus, samsul kuniwan, jejak pemikiran tokoh pendidikan islam (Jogjakarta: ar-arzz, media, 2011) hlm176
[6] Samsul, Haji, Nisar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis Dan Praktis.hlm 119.
[7]Suplemen Ensiklopedi Islam (Jakarta: pt ikrar mandiriabadi, 2001) hlm 78
[8] Siswanto, Filsfat Dan Pemikirin Pendidikan Islam (Surabaya: Pena Salsabila, 2015) hlm. 162.
[9] Siswanto, Filsfat Dan Pemikirin Pendidikan Islam (Surabaya: Pena Salsabila, 2015) hlm. 163.
[10] Samsul, Haji, Nisar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis Dan Praktis.hlm. 124.
[11] Erwin Mahrus, Samsul Kuniwan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Aruzz, Media, 2011) hlm. 188.
[12] Haji, Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat. hlm. 335
[13] Erwin Mahrus, Samsul Kuniwan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. hlm. 191.
[14]Siswanto, Filsfat Dan Pemikirin Pendidikan Islam, hlm. 164.
[15]Siswanto, Filsfat Dan Pemikirin Pendidikan Islam, hlm. 166.
[16] Kosim Moh, Ilmu Pendidikan Islam, (Malang: STAIN Pamekasan Press, 2001). hlm. 17.
[17]Erwin mahrus, Samsul Kuniwan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Hlm. 186.
[18] Ibid. 168
[19][19]Siswanto, Filsfat Dan Pemikirin Pendidikan Islam, hlm. 168.
[20]Samsul, Haji, Nisar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis Dan Praktis.hlm 124.
[21]Samsul Nizar, Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010). Hlm. 310.
[22] Ibid. 318.
[23]Siswanto, Filsfat Dan Pemikirin Pendidikan Islam, hlm. 173.

No comments:

Post a Comment