A.
Biografis
Muhammad naquib al-Attas
Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa
Barat pada tanggal 5 September 1931. Bila dilihat dari garis keturunanya, al-Attas termsuk keluarga Ba’alawi di
Hadramaut dengan silsilah yang sampai pada Imam Husein, cucuk Rasulullah SAW.
Ibunya adalah Syarifah Raqun al ‘Aidrus, berasal dari Bogor, Jawa Barat yang
merupaka Ningrat Sunda di Singapura. Melihat dari garis keturunannya, dapat
dikatakan bahwa al-Attas merupakan “bibit unggul” dalam percatuaran
perkembangan intelektual di Indonesia dan Melaysia. Factor intern keluarga inilah
yang selanjutnya membentuk karakter dasar dalam dirinya.[1]
Sejarah pendidikannya dimulai, Ketika
berusia 5 tahun, al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Di sini
al-Attas di maksukkan kedalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary Scool
sampai usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni
ketika Jepang menguasai Malaysia,maka al-Attas dan keluarganya pindah lagi ke
Indonesia. Di sini, ia kemudiaan melanjutkan pendidikan di sekolah Al-Urwah al-Wusta
di Sukabumi selama lima tahun. Di tempat ini , al-Attas mulai mendalami dan
mendapatkan pemahaman tradisi islam yang kuat. Hal inibisa di pahami, karena
saat itu, di Sukabumi inibisa di pahami, karena saat itu, di Sukabumi telah
berkembang perkumpulan Tarekat Naqsabandiyah.[2]
Dalam buku ini sudah sesuai dengan beberaparefrensi yang kami baca, Namun,
dalamu buku ini tidak dijelaskan begitu mendetail tentang sejarah pendidikan
al-Attas,
Karena mendorong oleh panggilan
batinnya untuk mengamalkan imunya yang di perolah di sukabum, sekembalinya ke Malaysia,
al-Attas memasuku dunia militer dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan
dalam upaya mengusir penjajah jepang. Dalam bidang kemiliteran ini, al-Attas
telah menunjukkan kecerdasannya, sehingga atasannya memilih dia sebagai salah
satu peserta pendidika militer yang lebih tinggi.[3]
Selai mengikuti pendidikan militer, al-Attas juga sering pergi ke Negara eropa
lainnya (terutama Sepanyol) dan afrika utara untuk mengunjungi tempat-tempat
yang terkenal dengan tradisii intlektual, seni dan gaya bangunan ke islam
lainnya.[4]
Pada tahun 1957, setelah Malaysia
merdeka al-Attas memundurkan diri dari dinas militer dan mengembangkan potensi
dasarnya, yakni di bidang intlektual. [5]Al-Attas
sempat masuk universitas Malaya selama dua tahun. Berkat kecerdasan dan
ketekunannya ia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute
Of Islamic studies, McGill Canada. Dalam waktu relatif singkat, yakni pada
tahun 1959-1962, dia berhasil menggodol gelar master dengan mempertahankan
tesis Raniy and the wujudiyyah of 17th Century Acheh. Dia
sangat tertarik dengan praktis Sufi yang berkembang di Indonesia dan Malaysia,
sehingga cukup wajar bila tesis yang diangkkat adalah konsep wujudiyah
al-Raniriy. Salah satu alasannya adalah dia ingin membuktikan bahwa
islamisasiyang berkembang di kawasan ud bukan dilaksanakan oleh colonial belanda,
melainkan murni dari upaya umat islam sendiri.[6]
Adapun gelar dogtor di perolehnya dari school of orientalan and Africbejran
studies, Unvrsity of London
(1963-1965), dengan bersertai berjudul The Myisticism of Hamzah fansuri
(diterbitkan 1970).[7]
Disamping itu ia mengkritisi
metodologi perbagai displin ilmu, filsafat, kebudayaan dan politik yang telah
terbaratkan.[8]
Menurut Samsul Nizar di dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan
Islam Pendekatan Historis, Teotitis Dan Praktis, mengatakan bahwa, sampai
saat ini sudah ada kurang lebih 15 karya yang telah dibukukan. Belum termasuk
makalah-makalah yang tersebar di berbagai seminar yang belum sempat di bukukan.
Sedangakan, Abuddin Nata di dalam bukunyaPemikiran Pendidikan Islam Dan
Barat, mengatakan bahwa karya tulis yang dihasilkan al-Attas ada 8 buku
yaitu: (1) al-raniry and the wujudiah of 17thn century Aceh (tesis s2 di
McGill university); (2) Some Aspects of Sufism as understood and Practiced
Among the Malays yang telah
diterbitkan oleh Malaysia Sociological Research di Singapura pada tahun 1963; (3)the
origin of the malay sha’ir, (4) islam
the history and culture of the Malays, (5) coments on the Re
Examination of al-Raniri’s hujjad al-shiddiq: A Refutation The Mysticism
of Hazah Fansuri; (6) Islam the
concept of Regilion and foundation of ethich and morality; (7) Preliminaty
thought on the nature of knowledge and the devination and aims of education,
dan (8) The Cocept Of Educationin Islam: A Framework For An Islamic
Philosophy Of Education.
B.
Pemikiran
Tentang Pendidikan
Al-Attas
disamping terkenal sebagai ahli pengkaji Sejarah, Kebudayaan, Teologi, Tasawuf dan
Filsafat, juga dikenal sebagai pengkaji pendidikan Islamyang Brilian yang telah
menggagas formula-formula besar seperti konsep pendidikan Islam, Islamisasi ilmu,
epistemologi islam dan lain-lain.[9]Pradikma
pemikiran al-Attas bila dikaji secara historis merupakan sebuah pemikiran yang
berawal dari dunia metafisis kemudian keduni kosmologis dan bermuara pada dunia
pesikologis.[10]
a.
Konsep tentang
Pendidikan Islam
Konsep pendidikan Islam pada dasarnya berusaha mewujudkan manusia
yang baik atau manusia universal (Al-Insan al-Kamil), yakni sesuai
dengan fungsi diciptakan manusia dimana ia membawa dua misi, yaitu (a) sebagai Abdullah
(hamba Allah) dan (b) Khalifatullah Fi al-Ardh(wakil tuhan di muka
bumi). [11]
Bahkan, pemikiran al-Attas dalam bidang pendidkan didasarkan pada
keprihatinannya terhadap penyempitan makan istilah-istilah islam yang
disebabkan oleh upaya westernisasi, metologis, pemasukan hal-hal yang magis
(gaib) dan sekularisasi.[12]Apabila
ditelaah secara cermat, format pendidikan yang ditawarkan oleh al-Attas di atas
tampak jelah bahwa dia berusaha menampilakan wajah pendidikan Islam sebagai
suatu sistem pendidikan tepadu. Hal tersebut dapat secara jelas dari tujuan
pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus
mewujudkan manusia yang universal. Insane kamil yang dimaksud adalah (1)
manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua demensi kepribadian: (a)
dimensi isoterik vertical yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah SWT. (b)demensi
estorik, dialiktikal, horizontal, yaitu membawa misi keselamatan bagi
lingkungan social alamnya. (2) manusia seimbang dalam kualitas berfikir, dzikir
dan amalnya.[13]
Al-Attas
memandang pendidikan sebagai suatua proses penanaman nilai bagi anak didik
(manusia), yang mengacu kepada metode dan sistem penanaman secara bertahap, dan
kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.Sehingga dalam
pandanganya, pendidikan islam harus terlebih dahulu memberkan pengetahuan
kepada pesrta didik berupa pengetahuan tentang manusia disusul
pengetahuan-pengetahuan lainnya. Dengan demikian dia akan tahujati dirinya
dengan benar, “tahu dari mana ia , sedang dimana ia, dan mau keman ia kelak”.
Jika ia tahu jati dirinya maka ia akan selalu ingat dan sadar serta mampu
memposisikan dirinya, baik terhadap sesame makhluk, apalagi terhadap khaliq.
Amrullah Ahmad menilai,
bahwa konsep pendidikan al-Attas mengandung peruses pengajaran seseorang dalam
tatanan kosmisdan social yang akan mengantarkannya untuk menemukan fungsinya
sebagai khalifah. Peserta didik harus dibimbing untuk mengenali dan mengakui
Allah sebagai tuhannya, yang peda gilirannya akan melahirkan manusia-manusia ‘abid
yang penuh kesadaran, memiliki kemampuan intelek tual maupun sepiritual. Dengan
dmikian, akan lahirlah berbagai pandanganhidup tauhid, baik rububiyyah maupun
uluhiyyah, yang meyakini kesatuan ciptaan (unity of creation),
kesatuan kemanusiaan (unity of mankind),kesatuan tututan hidup (ubity
of purpose of life), yang semua ini
merupakan derivasi dari kesatuan ketuhanan (unity og Godhead).[14]
Berkaitan
dengan definisi pendidikan, al-Attas lebih sepakat dengan menggunakan kata “al-ta`dib” (masdar dari kata addaba),
yang dapat diartikan pada proses mendidik yang lebih pada pembinaan dan
menyempurnakan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Orientasi kata ta`dib lebih terfokus pada upaya membentuk
pribadi muslim yang berakhlak mulia. Merujuk pada batasan tersebut, menurut
al-attas, pengunaan terma al-ta`dib lebih cocok digunakan dalam diskursus
pendidikan islam dibandingkan dengan kata al-tarbiyah dan al-ta`lim. Hal ini
disebabkan, karena pengertian ta`lim hanya
ditunjukan pada proses transfer ilmu (proses pengajaran), tanpa adanya
pengenalan-pengenalan lebih mendasar pada perubahan tingkah laku. Sedangkan
terma al-tarbiyah penunjukan makna
pendidikannya masih bersifat umum.[15]
Selanjutnya al-Attas menjelas bahwa istilah ta`dib
dalam tradisi ilmiah bahasa arab mengandung tiga unsur makna: pengembangan
ilmiah, ilmu dan amal. Sedangkan dalam kerangka pendidikan istilah ta`dib mengandung arti; pengetahuan
(`ilm), pengajaran (ta`lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Menurutnya,
dalam istilah ta`dib tidak ditemukan
unsur-unsur penguasaan atau pemilikan terhadap anak didik, di samping itu tidak
pula menimbulkan interpretasi mendidik selain manusia, karena menurut islam,
yang biasa bahkan harus dididik hanyalah manusia.[16]
Muncul
perbedaan interprentasi dikalangan ilmuan Muslim tentang istilah yang dianggap
paling tepat dan sesuai dipergunakan dalam pengertian pendidikan, terutama
dalam tinjuan etimologi dan semantic, merupakan hal yang wajar, karena dalam
bahasa arab, paling tidak ada tiga kata yang erat pengertiannya, dengan
pendidikan, yaitu rabba dangan masdar
tarbiyah, dan `allama dengan masdar ta`lim,
juga addaba dengan masdar ta`dib. Ketiganya merujuk dari Al-Qur`an
dan sunnah dan kemudian masing-masing ilmuan memiliki argumentasi (QS Al-Isra`
[17]: 24; Al-`Alaq [96]: 5).[17]
Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa istilah Ta`dib dalam tradisi ilmiah bahasa Arab mengandung tiga unsur
makna; pengembangan imiah, ilmu dan amal. Sedangakan dalam kerangka pendidikan
istilah Ta`dib mengandung arti;
pengetahuan (`Ilm), pengajaran (ta`lim)
dan pengasuhan yang baik (tarbiyah).
Menurutnya, dalam istilah ta`dib tidak ditemukan unsur-unsur
pengusaan atau kepemilikan terhadap anak didik, di samping itu tidak pula
menimbulkan interpretasi mendidik selain manusia.
Al-Attas
menginkan pendidikan islam maupun mencetak manusia yang paripurna (al-insan al-kamil) tujuan ini mengarah
pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `adb
Allah (hamba Allah) dan khalafah fi
al-ardl (wakil allah di muka bumi). Karena itu, system pendidikan islam
harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Nabi Saw. Sekaligus mengarah
dan membawa ummat muslim untuk meneladani perilakunya. Salah satu upaya untuk
menwujudkan masyarakat yang baik, tugas pendidikan harus membentuk kepribadian
setiap individu dengan baik, karena masyarakat merupakan kumpulan dari
individu-individu.[18]
b.
Islamisasi
pengetahuan dan epistemology islam
Al-Attas memandang bahwa umat islam menghadapi
tantangan terbesar saat ini, dengan berkembanganya ilmu pengetahuan yang telah
salah dalam memahami ilmu dan keluar dari maksud dan tujuan ilmu itu sendiri.
Meskipun ilmu pengetahuan yang dikembnagkan oleh peradaban barat telah
memberikan manfaat dan kemkmuran kepada manusia, namun ilmu pengetahuan itu
juga menimbulkan kerusakan dan kehancuran di muka bumi. Dengan sifat ilmu
pengetahuan berdasarkan budaya dan peradaban barat yang memberikan ketidak
pastian dan krisis yang berkepanjangan, maka itu tidak dapat diterapkan dalam
kehidupan umat islma. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan dapat dijadikan alat
untuk menyebarluaskan ideology dan perbedaan. Dengan demikian maka ilmu
tidaklah bebas nilai (value free)
tapi taat nilai (value laden).[19]
Terma de-westernisasi mempunyai arti pembersihan dari westernisasi.
Jika weseternisasi dipahami sebagia pembaratan atau mengadaptasi, meniru dan
mengambil alih gaya hidup barat, maka de-westernisasi dipahami sebagai upaya
penglepasan sesuatu dari pengaruh-pengaruh barat. Dalam batasan al-Attas
de-westernisasi adalah proses mengenal, memisahkan dan mengasingkan unsur-unsur
sekuler (subtansi, roh, watak dan
kepribadian kebudayaan serta peradaban Barat) dari tubuh pengetahuan yang akan
merubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi pengetahuan
seperti yang disajikan sekarang.[20]
Bila dilihat pernyataan al-Attas selanjutnya bahwa pada proses de-westernisasi dan islamisasi yang
menjadi kedali utama adalah manusia. Jika melalui tafsiran alternatif
pengetahuan tersebut, manusia mengetahui hakekat dirinya serta tujuan sejati
hidupnya dan mengetahui itu, ia mencapai kebahagiaannya, maka pengetahuan itu
dikonsepsikan, dievaluasi dan ditafsirkan sesuai dengan suatu pandangan
tertentu, dapat disebut pengetahuan yang sejati, karena pengetahuan seperti itu
telah memenuhi tujuan manusia dalam mengetahuai segalanya. Termasuk
pernyataan-pernyataan dasar dan kesimpulan-kesimpulan umum sains dan filsafat
yang diturunkan darinya, adalah khas bagi zaman tertentu; bahwa yang diterima
hanyalah teori-teori yang di reduksi kepada unsur-unsur indrewi, walaupun ada
kemungkinan melibatkan gagasan yang melampaui jangkaun pengalaman empiris.[21]
Dalam epistemologi, titik berangkat bukan dari keraguan melainkan berangkat
dari keyakinan akan adanya keyakinan. Sedangkan kebenaran itu sendiri secara
inheren terdapat dalam diri manusia sebagai bentuk micro dari makrokosmos.
Kebenaran secara inheren juga terkandung dal ayat-ayat Al-Qur`an sebagai yang
diwahyukan Tuhan kepad Nabi dan Rusul-nya. Kebenaran yang demikian itu, secara
inheren termuat dalam alam semesta, baik yang berkaitan dengan gejala-gejala,
proses, peristiwa-peristiwa alam dan lain-lain.[22]
Menurut
al-Attas, proses islamisasi ilmu pengetahuan melibatkan dua langkah utama. Pertama, prosese mengasingkan
unsur-unsur dan konsep-konsep utama barat dari ilmu tersebut, kedua, menyerapkan unsur-unsur dan
konsep-konsep utama islam ke dalamnya. Jelasnay, ilmu hendaknya diserapkan
dengan unsur-unsur dan konsep utama islam setelah unsur-unsur dan konsep utama
asing dikeluarkan dari setiap ranting. Oleh sebab itu, pendidikan islam harus
dibangun dan bersumber dari konsep ketuhanan (ilahiyyah) dan kemanusiaan dalam rangka membangun moralitas dan
akhlak manusia yang anggun untuk dapat mewujudkan kehidupan manusia yang
seimbang dan integrative antara nilai-nilai ilahiyyah
(spritual), kemanusiaan (insaniyyah)
dan nilai-nilai budaya.[23]
DAFTAR PUSTAKA
ü Siswanto,
Filsfat Dan Pemikirin Pendidikan Islam (Surabaya: Pena Salsabila, 2015)
ü Samsul,
Haji, Nisar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis Dan
Praktis (Jakarta: Ciputat Pers 2002)
ü Haji,
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat (Jakarta: Rajawal
Pers 2013)
ü Samsul
Nizar, Ramayulis, Filsafat Pendidikan
Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010)
ü Kosim
Moh, Ilmu Pendidikan Islam, (Malang:
STAIN Pamekasan Press, 2001)
ü Erwin Mahrus,
Samsul Kuniwan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta:
Ar-Aruzz, Media, 2011)
[1] Siswanto, Filsfat
Dan Pemikirin Pendidikan Islam (Surabaya: Pena Salsabila, 2015) hlm. 161.
[2] Samsul, Haji,
Nisar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis Dan Praktis (Jakarta:
Ciputat Pers 2002) hlm. 118.
[3] Haji, Abuddin
Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat (Jakarta: Rajawal Pers 2013)
hlm 332.
[4] Siswanto, Filsfat
Dan Pemikirin Pendidikan Islam. Hlm.162
[5] Erwin mahrus,
samsul kuniwan, jejak pemikiran tokoh pendidikan islam (Jogjakarta:
ar-arzz, media, 2011) hlm176
[6] Samsul, Haji,
Nisar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis Dan Praktis.hlm
119.
[8] Siswanto, Filsfat
Dan Pemikirin Pendidikan Islam (Surabaya: Pena Salsabila, 2015) hlm. 162.
[9] Siswanto, Filsfat
Dan Pemikirin Pendidikan Islam (Surabaya: Pena Salsabila, 2015) hlm. 163.
[10] Samsul, Haji,
Nisar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis Dan Praktis.hlm.
124.
[11] Erwin Mahrus, Samsul
Kuniwan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Aruzz, Media,
2011) hlm. 188.
[12] Haji, Abuddin
Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat. hlm. 335
[13] Erwin Mahrus, Samsul
Kuniwan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. hlm. 191.
[14]Siswanto, Filsfat
Dan Pemikirin Pendidikan Islam, hlm. 164.
[15]Siswanto, Filsfat
Dan Pemikirin Pendidikan Islam, hlm. 166.
[16]
Kosim Moh, Ilmu Pendidikan Islam, (Malang:
STAIN Pamekasan Press, 2001). hlm. 17.
[17]Erwin mahrus, Samsul
Kuniwan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Hlm. 186.
[18]
Ibid. 168
[20]Samsul, Haji,
Nisar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis Dan Praktis.hlm
124.
[21]Samsul
Nizar, Ramayulis, Filsafat Pendidikan
Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010). Hlm. 310.
[22]
Ibid. 318.
[23]Siswanto, Filsfat
Dan Pemikirin Pendidikan Islam, hlm. 173.
No comments:
Post a Comment