GURU
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) IDEAL
DALAM
PERSEPSI MASYARAKAT NELAYAN
(Study
di Kelurahan Mayangan Kota Probolinggo)
PROPOSAL
SKRIPSI
Oleh:
MOH. MA`RUF ROMADHON
NIM. 18 2012
01 01 0143
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI PAMEKASAN
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Konteks Penelitian
Sekolah
merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan kegiatan proses
belajar mengajar sebagai upaya untuk tercapainya tujuan pendidikan. Penanggung jawab
dalam proses belajar mengajar adalah guru. Tinggi rendahnya mutu pendidikan
banyak dipengaruhi oleh kualitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, karena
guru secara langsung memberikan bimbingan dan bantuan kepada peserta didik
dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Sebagai guru yang profesional mereka
harus memiliki keahlian khusus dan dapat menguasai seluruh komponen penting
dalam bidang pendidikan.
Guru memiliki
peran yang sangat penting dalam menentukan kualitas pengajaran yang dilaksanakan.
Oleh karena itu, guru harus memikirkan dan membuat perencanaan secara seksama
dalam meningkatkan kesempatan belajar siswa dengan memperbaiki kualitas
mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa guru diharapkan mampu berperan aktif
sebagai pengelola proses belajar mengajar, bertindak sebagai fasilitator yang
berusaha menciptakan organisasi kelas, penggunaan metode mengajar maupun sikap
dan karakteristik guru dalam menghadapi peserta didik.
Peraturan
Pemerintah (PP) no. 74 tahun 2008 tentang guru pasal 1 no.1 disebutkan bahwa:
“Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.[1]
Pada hakikatnya,
siapa pun dapat menjadi pendidik Agama Islam, asalkan dia memiliki pengetahuan
(kemampuan) dan mampu mengimplisitkan nilai-nilai yang relevan (dalam
pengetahuannya itu). Akan tetapi, guru merupakan suatu profesi yang bukan
sekedar pekerjaan atau vocation, melainkan suatu vokasi khusus yang mempunyai
ciri-ciri diantaranya yaitu: keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility),
dan rasa kesejawatan (corporateness), selain itu guru juga mempunyai
kecakapan dan pengetahuan dasar yang harus dimiliki sebagaimana disampaikan
oleh Winarno Surachmad sebagai berikut:
1.
Guru harus mengenal murid yang
dipercayakan kepadanya
2.
Guru harus memiliki kecakapan memberi
bimbingan
3.
Guru harus memiliki dasar pengetahuan
yang jelas tentang tujuan pendidikan di Indonesia pada umumnya sesuai dengan
tahap-tahap pembangunan
4.
Guru harus memiliki pengetahuan yang
bulat dan baru mengenal ilmu yang diajarkan (Surachmad, 1982: 61)
Dalam
buku pendidikan dan perubahan sosial, H.A.R Tilaar telah menyajikan tiga jenis
pedagogik, yaitu pedagogik tradisional, pedagogic kritis, dan pedagogik
transformatif. Pedagogik transformatif yang berakar pada pedagogik kritis,
kedua-keduanya menggunakan suatu perspektif baru mengenai praksis pendidikan,
yaitu pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Berbeda dengan pedagogik
tradisional yang menggunakan tinjauan mikro, yaitu bertitik tolak pada peserta
didik dalam proses pendidikan yang pada umumnya terbatas dalam lingkungan
sekolah (schooling), maka pedagogik kritis dan pedagogik transformatif
meletakkan praksis pendidikan sebagai bagian dari kegiatan kebudayaan dalam
arti luas.[2] Dari
penjelasan di atas, bisa ditarik intisari bahwa proses pembelajaran di sekolah
tidak bisa lepas dari benturan budaya yang berkembang di masyarakat sekitar
sekolah. Karena adanya pendidikan sebenarnya untuk memperbaiki tatanan
masyarakat. Dan sebaliknya, masyarakat sangat berpengaruh pada berjalannya
proses pendidikan di setiap daerah.
Oleh
karena itu, dari latar belakang di atas akan diadakan penelitian di Kelurahan
Mayangan Kota Probolinggo dengan judul “Guru
Pendidikan Agama Islam (PAI)
yang Ideal dalam Persepsi Masyarakat Nelayan (Study di Kelurahan Mayangan Kota Probolinggo)”.
A. Fokus
Penelitian
Uraian dalam
latar belakang di atas menyebutkan bahwa seorang guru berperan sekali dalam
sebuah kehidupan. Selain itu, menjadi guru adalah sebuah tugas yang luhur,
karena dalam melaksanakan tugasnya seorang guru dituntut dengan adanya budi
pekerti luhur dan akhlak yang tinggi.
Berdasarkan
latar belakang permasalahan di atas, selanjutnya penulis dapat rumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana
guru pendidikan agama Islam yang ideal secara teoritis?
2. Bagaimana
kondisi sosial masyarakat nelayan di kelurahan Mayangan kota Probolinggo?
3. Bagaimana
persepsi masyarakat nelayan mengenai guru pendidikan agama Islam yang ideal di
kelurahan Mayangan kota Probolinggo?
B.
METODE PENELITIAN
Tujuan
penelitian dalam bidang pendidikan secara umum adalah untuk meningkatkan daya
imajinasi mengenai masalah-masalah pendidikan. Kemudian meningkatnya daya nalar
untuk mencari jawaban permasalahan itu melalui penelitian. Penelitian dapat
didefinisikan sebagai usaha seseorang yang dilakukan secara sistematis
mengikuti aturan-aturan metodologi misalnya observasi secara sistematis,
dikontrol, dan mendasarkan pada teori yang ada dan diperkuat dengan gejala yang
ada.1
Sistematika
penulisan karya ilmiah yang diambil oleh penulis memuat hal-hal sebagai
berikut:
a.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
berparadigma Kualitatif- Deskriptif, Bogdan dan Taylor mendefinisikan
“Metodologi Kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati.
Menurut mereka, pendekatan ini,
diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam
hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau oraganisasi ke dalam variabel
atau hipotetis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan.
Studi kasus atau penelitian kasus adalah
penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase
spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian dapat saja
individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat. Peneliti ingin mempelajari
secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan dari unit-unit sosial
yang menjadi subyek. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara
mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas
dari kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat khas
di atas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum.
b.
Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian kualitatif, peneliti
sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan pengumpul data utama. Dalam
hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Lexy J. Moeleong, kedudukan peneliti dalam
penelitian kualitatif cukup rumit. Ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana
pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor
hasil penelitiannya.
c.
Lokasi Penelitian
Penelitian skripsi ini diadakan di
kelurahan Mayangan Kecamatan Mayangan yang berada di Kota Probolinggo yang
merupakan salah satu daerah yang paling penting di Kota Probolinggo.
d.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian, menurut
Suharsimi Arikunto adalah subjek dimana data diperoleh. Sedangkan menurut
Lofland, yang dikutip oleh Moleong, sumber data utama dalam penelitian
kualitatif ialah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah adalah data
tambahan seperti dokumen dan lainlain.
Adapun sumber data terdiri dari dua
macam:
1. Sumber
Data Primer
Sumber
Data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul
data.
Dalam penelitian ini, sumber data primer
yang diperoleh oleh peneliti adalah: hasil wawancara dengan Kepala Kelurahan
Mayangan Kota Probolinggo, Masyarakat Nelayan di Kelurahan Mayangan Kota Probolinggo,
beberapa tokoh agama di Kelurahan Mayangan Kota Probolinggo dan sebagian
pelajar di Kelurahan Mayangan Kota Probolinggo.
2. Sumber
Data Sekunder
Sumber
data sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen. Sumber data sekunder
yang diperoleh peneliti adalah data yang diperoleh langsung dari pihak-pihak
yang berkaitan berupa data-data masyarakat dan berbagai literatur yang relevan
dengan pembahasan.
e.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan
tiga macam teknik pengumpulan data, yaitu:
1.
Metode Observasi atau Pengamatan. Suharsimi
Arikunto mengemukakan bahwa observasi atau disebut juga dengan pengamatan
meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan
segala indra. Berdasarkan definisi diatas maka yang dimaksud metode observasi
adalah suatu cara pengumpulan data melalui pengamatan panca indra yang kemudian
diadakan pencatatan-pencatatan. Penulis menggunakan metode ini untuk mengamati
secara langsung dilapangan, terutama data tentang :
a.
Letak geografis serta keadaan fisik
Kelurahan Mayangan Kota Probolinggo.
b.
Jumlah masyarakat nelayan Kelurahan
Mayangan Kota Probolinggo.
c.
Kondisi masyarakat nelayan Kelurahan
Mayangan Kota Probolinggo.
d.
Jumlah lembaga pendidikan Kelurahan
Mayangan Kota Probolinggo.
2.
Metode Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan
maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu.14 Metode interview ini peneliti gunakan dengan tujuan untuk memperoleh
data yang berkaitan dengan persepsi Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) Ideal
dalam Masyarakat Nelayan. Adapun sumber informasi (Informan) adalah Kepala
Kelurahan, Masyarakat, dan beberapa tokoh agama di Kelurahan Mayangan Kota Probolinggo
dan pelajar di Kelurahan Mayangan Kota Probolinggo.
3. Metode
Dokumentasi
Tidak kalah penting dari metode-metode
lain, adalah metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya. Dibandingkan dengan metode lain,
maka metode ini agak tidak begitu sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan
sumber datanya masih tetap, belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang
diamati bukan benda hidup tetapi benda mati.15
A.
Teknik Analisis Data
Setelah data
terkumpul dilakukan pemilahan secara selektif disesuaikan dengan permasalahan
yang diangkat dalam penelitian. Setelah itu, dilakukan pengolahan dengan proses
editing, yaitu dengan meneliti kembali data-data yang didapat, apakah data
tersebut sudah cukup baik dan dapat segera dipersiapkan untuk proses
berikutnya. Secara sistematis dan konsisten bahwa data yang diperoleh,
dituangkan dalam suatu rancangan konsep yang kemudian dijadikan dasar utama
dalam memberikan analisis. Analisis data menurut Patton yang dikutip oleh
Moleong, adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu
pola, kategori dan satuan uraian dasar. Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor,
analisa data adalah proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan
tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha
untuk memberikan bantuan pada tema dan ide itu.16 Dalam penelitian ini yang
digunakan dalam menganalisa data yang sudah diperoleh adalah dengan cara
deskriptif (non statistik), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
menggambarkan data yang diperoleh dengan kata-kata atau kalimat yang dipisahkan
untuk kategori untuk memperoleh kesimpulan. Yang bermaksud mengetahui keadaan
sesuatu mengenai apa dan bagaimana, berapa banyak, sejauh mana, dan sebagainya.
Pada umumnya penelitian
deskriptif merupakan penelitian non hipotesis. Penelitian deskriptif dibedakan
dalam dua jenis penelitian menurut sifat-sifat analisa datanya, yaitu riset
deskriptif yang bersifat ekploratif dan riset deskriptif yang bersifat
developmental.17
Dalam
hal ini penulis menggunakan deskriptif yang bersifat ekploratif, yaitu dengan
menggambarkan keadaan atau status fenomena.18 Peneliti hanya ingin mengetahui
hal-hal yang berhubungan dengan keadaan sesuatu. Dengan berusaha memecahkan
persoalan-persoalan yang ada dalam rumusan masalah dan menganalisa data-data
yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan sosiologis.
BAB
II
PEMBAHASAN
HASIL PENELITIAN
A. Guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) Ideal
Sebagaimana disebutkan
dalam Undang-undang Guru dan Dosen penjelasan Pasal 10 ayat (1), Kompetensi
guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial yang
diperoleh melalui pendidikan profesi.1 Standar pendidik dan tenaga kependidikan
disebut juga dalam SISDIKNAS pasal 28 ayat (3), Kompetensi sebagai agen
pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak
usia dini meliputi: (a) Kompetensi pedagogik; (b) Kompetensi kepribadian; (c) Kompetensi
Profesional; (d) Kompetensi sosial.[3]
Di ungkapkan
oleh Muhaimin, dalam bukunya yang berjudul ”Paradigma Pendidikan Islam”, bahwa
dalam pola pemahaman sistem tenaga kependidikan (guru) di Indonesia, terdapat
tiga dimensi umum kompetensi yang saling menunjang membentuk kompetensi
profesional tenaga kependidikan, yaitu (1) Kompetensi personal (kepribadian);
(2) Kompetensi sosial; dan (3) Kompetensi profsional (Sahertian, 1994, hal.
56).[4]
Kompetensi
disebutkan juga oleh Muhaimin dan Abdul Mujib, dalam pendidikan Islam, pendidik
akan berhasil menjalankan tugasnya apabila mempunyai
”kompetensipersonal-religius, sosial-religius, dan professionalreligius”.[5]
A. Kompetensi
Pedagogik
Sudah
menjadi keharusan bagi seorang pengemban tugas sebagai pengajar untuk memiliki
penguasaan yang cukup atas ilmunya yang akan ia ajarkan. Ia juga dapat
menggunakan sarana-sarana pendukung dalam menyampaikan ilmu. Allah
memerintahkan setiap orang untuk menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan yang
diinginkan- Nya.Karakter ini berlandaskan sabda Rasulullah Saw. Berikut:
”Sesungguhnya
Allah menyukai seorang diantara kalian yang bila bekerja ia menyelesaikan
pekerjaannya (dengan baik)”. (H.R. Al Baihaqi).[6]
Lebih lanjut, dalam RPP tentang Guru
dikemukakan bahwa: Kemampuan pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan
pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi hal- hal sebagai
berikut.
i.
Pemahaman wawasan atau landasan
kependidikan
Landasan pendidikan dalam kontek Islam,
adalah Al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad Saw. Yang dapat dikembangkan dengan
ijtihad, al maslahah al mursalah, istihsan, qiyas, dan sebagainya.[7]
Hal ini sebagaimana diterangkan dalam
firman Allah:
“Dan
Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burungburung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
(Q.S. al-An’am: 38).[8]
ii.
Pemahaman terhadap peserta didik
Peserta didik adalah salah satu komponen
dalam pengajaran, disamping faktor guru, tujuan, dan metode pengajaran.Sebagai salah
satu komponen maka dapat dikatakan bahwa peserta didik adalah komponen yang
terpenting diantara komponen lainnya. Pada dasarnya ”ia” adalah unsur penentu
dalam proses belajar mengajar. Tanpa adanya peserta didik, sesungguhnya tidak
akan terjadi proses pengajaran.[9]
Pandangan tentang peserta didik,
setidak-tidaknya terdapat 3 jenis pandangan tentang anak, yaitu: 1). Pandangan
lama, menyebutkan bahwa anak adalah orang dewasa yang kecil. Karena itu segala
sesuatunya perlu dipersamakan seperti halnya orang dewasa. 2). Anak adalah
sebagai anak. Anak tidak bias dan tidak mungkin dipersamakan sebagai orang
dewasa.Ia memiliki ciri-ciri sendiri. 3). Anak adalah hidup di dalam masyarakat
dan dipersiapkan untuk hidup di dalam masyarakat. Sebagai calon anggota
masyarakat, maka ia harus dipersiapkan sesuai dengan masyarakat setempat.[10]
Tujuan guru mengenal peserta didiknya
dengan maksud agar guru dapat membantu pertumbuhan dan perkembangannya secara
efektif. Adapun aspek peserta didik yang perlu dikenal, antara lain:[11]
1. Latar
belakang masyarakat
2. Latar
belakang keluarga
3. Tingkat
inteligensi
4. Hasil
belajar
5. Kesehatan
badan
6. Hubungan-hubungan
antar pribadi
7. Kebutuhan-kebutuhan
emosional
8. Sifat-sifat
Kepribadian
9. Macam-macam
minat belajar siswa.
Mengenal
dan mengajarkan sifat-sifat dan kode etik peserta didik dalam proses belajar
mengajar dalam pendidikan Islam. Al-Ghazali, yang dikutip fathiyah Hasan
sulaiman, merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:
Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT., sehingga dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari
akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak
yang terpuji (tahalli). Firman Allah:
”Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.
(Q.S. al-An’am: 162).
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
(Q.S. Ad-Dzariyat: 56).
1. Mengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (Q.S.ad-Dhuha: 4).
Artinya belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tapi juga belajar ingin
berjihad melawan kebodohan, demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik
dihadapan manusia dan Allah.
2. Bersikap
tawadlu’ (rendah hati)
3. Menjaga
pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
4. Mempelajari
ilmu-ilmu yang terpuji (Mahmudah), dan meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela
(madzmumah).
5. Belajar
dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit)
menuju pelajaran yang sukar (abstrak). Atau dari ilmu yang fardlu ’ain menuju
ilmu yang fardlu kifayah.
6. Belajar
ilmu sampai tuntas kemudian beralih kepada ilmu yang lainnya, sehingga peserta
didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Q.S. al-Insyirah:
7. Mengenal
nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
8. Memprioritaskan
ilmu diniyyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah.
9. Mengenal
nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat
yang dapat memberikan kebahagiaan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan dunia
akhirat.
10. Peserta
didik harus tunduk kepada nasehat guru, sebagaimana tunduknya orang sakit
kepada dokternya.
iii.
Pengembangan kurikulum
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar,
materi standar, dan hasil belajar, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan tujuan pendidikan.15 Kurikulum
Pendidikan Islam bersumber dari tujuan pendidikan Islam. Arifin (1993: 237)
menyatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan manusia
muslim yang beriman, bertaqwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan
dirinya kepada sang kholiq dengan sikap dan kepribadian bulat menyerahkan diri kepada-Nya
dalam segala aspek kehidupan dalam rangka mencari keridlaan Allah SWT.
iv.
Pelaksanaan Pembelajaran yang Mendidik
dan Dialogis
Pembelajaran bermakna sebagai upaya
untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya
(effort) dan berbagai setrategi, metode dan pendekatan kearah pencapaian tujuan
yang telah direncanakan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran diperlukan
suatu metode untuk mencapai tujuan pendidikan yang baik dan sempurna. Mendidik
dengan cara dialogis adalah suatu metode yang melahirkan sikap-sikap saling
keterbukaan antara guru dan murid, akan mendorong saling memberi dan menerima
(take and give) antara guru dan murid dalam proses belajar mengajar.18Dalam
penerapan metode ini, pikiran, kemauan, perasaan, dan ingatan serta pengamatan
terbuka terhadap ide-ide baru yang timbul dalam proses di mana anak didik tidak
lagi dipandang sebagai objek pendidikan melainkan juga sebagai subjek. Dengan
metode ini proses pembelajaran akan berjalan secara demokratis, dimana anak
didik ditempatkan sebagai pribadi yang mandiri, tidak bergantung kepada seorang
guru.[12]
v.
Perancangan Pembelajaran
Perancangan pembelajaran merupakan salah
satu kompetensi pedagogis yang harus dimiliki guru, yang akan bermuara pada pelaksanaan
pembelajaran. Perancangan pembelajaran sedikitnya mencakup tiga kegiatan, yaitu
identifikasi kebutuhan, perumusan kompetensi dasar, dan penyusunan program pembelajaran.
1. Identifikasi
kebutuhan
Kebutuhan merupakan kesenjangan antara
apa yang seharusnya dengan kondisi yang sebenarnya, atau sesuatu yang harus
dipenuhi untuk mencapai tujuan. Adapun tujuan Identifikasi kebutuhan, antara
lain untuk melibatkan dan memotifasi peserta didik agar kegiatan belajar
dirasakan sebagai bagian dari kehidupan dan mereka merasa memilikinya. Hal ini
dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: Peserta didik di dorong untuk
menyatakan kebutuhan belajar berupa kompetensi tertentu yang ingin mereka miliki
dan diperoleh melalui kegiatan pembelajaran.
a. Peserta
didik di dorong untuk mengenali dan mendayagunakan lingkungan sebagai sumber
belajar untuk memenuhi kebutuhan belajar.
b. Peserta
didik di bantu untuk mengenal dan menyatakan kemungkinan adanya hambatan dalam upaya
memenuhi kebutuhan belajar, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
2. Identifikasi
Kompetensi
Kompetensi merupakan sesuatu yang ingin
dimiliki peserta didik, dan merupakan komponen utama yang harus dirumuskan dalam
pembelajaran. Kompetensi yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula
terhadap materi yang harus dipelajari, penetapan metode dan media pembelajaran,
serta memberi petunjuk terhadap penilaian. Oleh karena itu, setiap kompetensi
harus merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang
direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak (thinking skill). Kompetensi
yang harus dipelajari dan dimiliki peserta didik perlu dinyatakan sedemikian
rupa agar dapat dinilai, sebagai wujud hasil belajar yang mengacu pada pengalaman
langsung. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkat-tingkat
penguasaan yang akan digunakan sebagai kreteria pencapaian secara eksplisit 92 dikembangkan
berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
3. Penyusunan
Program pembelajaran
Penyusunan program pembelajaran akan
bermuara pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), sebagai produk program
pembelajaran jangka pendek, yang mencakup komponen program kegiatan belajar dan
proses pelaksanaan program. Komponen program mencakup kompetensi dasar, materi
standar, metode dan tehnik, media dan sumber belajar, waktu belajar dan daya
dukung lainnya.
B. Kompetensi
Profesional (profesional-religius)
Dalam undang-undang guru dan dosen
disebutkan, kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi
pelajaran secara luas dan mendalam.31 Dalam Standar Nasional Pendidikan,
penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir c dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi
profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi
yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.32
Sedangkan kompetensi profesional
(profesional-relegius), dapat diidentifikasi berdasarkan pendapat para ulama’
muslim berikut ini: Menurut Al-Ghazali mencakup:
a. Menyajikan
pelajaran sesuai dengan taraf kemampuan peserta didik; dan
b. Terhadap
peserta didik yang kurang mampu, sebaiknya di beri ilmu-ilmu yang global dan
tidak detail.33
C. KompetensiSosial
(sosial-religius)
Adapun kompetensi sosial dalam Islam,
sebagaimana konsep pendidikan sosial dalam pandangan Al-Ghazali yang dikutip
oleh Hamdani Hasan dan fuad Ihsan, berkaitan erat dengan konsepnya tentang
manusia yaitu: ”Akan tetapi manusia itu dijadikan Allah SWT dalam bentuk yang tidak
dapat hidup sendiri.Karena tidak bisa mengusahakan sendiri seluruh keperluan
hidupnya baik untuk memperoleh makanan dengan bertani dan berladang, memperoleh
roti dan nasi, memperoleh pakaian dan tempat tinggal serta menyiapkan alat-alat
untuk itu semuanya.Dengan demikian manusia memerlukan pergaulan dan saling
membantu”.
Muhaimin, mengatakan ciri dasar yang
terkait dengan kompetensi sosial, yakni prilaku guru pendidikan Islam yang
berkeinginan yang bersedia memberikan layanan kepada masyarakat melalui karya profesionalnya
untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam.
B. Kondisi
Sosial Masyarakat Nelayan di Mayangan Kota Probolinggo
Indonesia
adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
beribu-ribu pulau, dimana dua per tiga wilayahnya terdiri dari lautan. Kondisi
ini menyediakan potensi sumber perikanan yang sangat besar. Sejak dulu
nenek moyang telah mengenal manfaat laut, baik sebagai media perhubungan,
pertahanan, pendidikan maupun sebagai sumber bahan pangan alam. Dengan
keanekaragaman potensi laut Indonesia demi membangun masyarakatnya demi
kesejahteraan sekarang dan di masa yang akan datang.
Wilayah
laut Indonesia mencakup 12 mil ke arah garis pantai. Selain itu Indonesia
memiliki wilayah yuridiksi nasional yang meliputi Zona Eksklusif (ZEE)
sejauh 200 mil dan landas kontinen sampai sejauh 350 mil dari garis pantai.
Wilayah Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati dan potensi perikanan
laut merupakan aset yang sangat besar bagi petumbuhan ekonomi Indonesia.
Potensi perikanan laut meliputi alat tangkap perikanan baik yang tradisional
maupun modern, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan. Pada
umumnya, masyarakat yang tinggal di tepi-tepi pantai laut terutama di
kawasan pesisir pantai barat sumatera bermata pencaharian sebagai nelayan sebagian
besar menggunakan teknologi penangkapan ikan yang masih bersifat
tradisional dan sebagian kecil memiliki alat penangkapan yang modern.
Secara garis besar nelayan berdasarkan alat penangkapan ikan dapat dibedakan
atas dua golongan, yaitu :
1.
Nelayan berdasarkan pemilikan alat
penangkapan, yang terbagi atas :
a.
Nelayan pemilik,
yaitu nelayan yang mempunyai alat penangkapan, baik yang langsung turun ke laut
maupun yang langsung menyewakan alat tangkapan kepada orang lain.
b.
Nelayan Buruh atau nelayan
penggarap, yaitu nelayan yang tidak memiliki alat penangkap,
tetapi mereka menyewa alat tangkap dari orang lain atau mereka yang menjadi buruh
atau pekerja pada orang yang mempunyai alat penangkapan.
2.
Berdasarkan sifat kerjanya nelayan,
dapat dibedakan atas :
a.
Nelayan penuh atau nelayan asli,
yaitu nelayan baik yang mempunyai alat tangkap atau buruh yang berusaha
semata-mata pada sektor perikanan tanpa memiliki usaha yang lain.
b.
Nelayan Sambilan,
yaitu nelayan yang memiliki alat penangkapan atau juga sebagai buruh
pada saat tertentu melakukan kegiatan pada sektor perikanan disamping usaha
lainnya. Secara sosial budaya, dikemukakan bahwa masyarakat nelayan memiliki ciri-ciri
yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Alasannya adalah
1)
terdapat interaksi sosial yang intensif
antara warga masyarakat, yang ditandai dengan efektifnya komunikasi tatap muka,
sehingga terjadi hubungan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian hal tersebut dapat membangun terjalinnya hubungan kekeluargaan yang
didasarkan pada simpati dan bukan berdasarkan kepada pertimbangan rasional yang
berorientasi kepada untung rugi .(2) bahwa dalam mencari nafkah mereka
menonjolkan sifat gotong royong dan saling membantu. Hal tersebut dapat diamati
pada mekanisme menangkap ikan baik dalam cara penangkapan masupun dalam
penentuan daerah operasi.
Selain
itu, masyarakat nelayan yang bercirikan tradisional kurang berorientasi
kepada masa depan, penggunaan teknologi masih sederhana, kurang
rasional, relatif tertutup terhadap orang luar, dan kurang berempati. Pada
zaman nenek moyang dahulu, para nelayan hanya menggunakan alatalat yang
sangat sederhana, seperti perahu yang kecil dengan pendayung yang kecil
pula. Sekarang para nelayan telah menggunakan teknologi yang sudah maju,
misalnya dengan memakai mesin tempel sebagai alat penggerak perahu serta
alat penangkapan yang lebih baik. Keberadaan alat-alat penangkapan yang
modern tersebut menjadikan masyarakat dapat menangkap ikan lebih banyak
lagi dan waktu yang diperoleh dari hasil penangkapan ikan relatif kecil.
Meskipun demikian, teknologi modern tersebut tidak sepenuhnya
dikembangkan oleh nelayan. Masyarakat nelayan di Indonesia terutama di
kawasan pesisir barat sumatera masih melaksanakan kegiatan di laut
secara tradisional, seperti menangkap ikan dengan jala, pancing dan
lainnya sehingga secara ekonomi mereka masih Pada umumnya masyarakat
nelayan dapat dogolongkan sebagai masyarakat kelas bawah sosial. kurang
beruntung, padahal kalau dilihat dari hasil penangkapan di laut secara keseluruhan
sangat banyak.
Nelayan
miskin umumnya memiliki pendidikan yang rendah dan tidak memilki
peralatan yang memadai untuk menangkap ikan di laut. Mereka mencari ikan
dengan peralatan sederhana atau menjadi buruh nelayan pada kapal-kapal
pencari ikan yang cukup besar yang disebut dengan kapal bagan. Sistem
bagi hasil dalam model pencarian ikan dengan kapal bagan terlihat merugikan
nelayan karena keuntungan tidak pernah diperoleh buruh yang selalu
beruntung hanya juragan atau pemilik kapal. Kemiskinan nelayan
menimbulkan pertanyaan bagaimana sebenarnya motivasi nelayan miskin
dalam mengusahakan kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Dalam melihat ini
sebenarnya suatu hal yang sangat penting adalah bagaimana hubungan
antara sumberdaya yang dimiliki dengan motivasi hidup nelayan miskin.
Untuk hidup yang lebih baik mereka bekerja sepanjang hari kecuali pada
masa ikan tidak ada pada bulan terang atau musim badai. Sebagian mereka
juga bekerja melakukan pekerjaan sampingan ketika tidak melaut seperti
mencari kayu, tukang, mengojek, atau bertani di lahan yang mereka
miliki. Seperti Masyarakat yang ada di Mayangan Probolinggo, juga berada
dalam kehidupan yang sederhana namun mempunyai semangat tinggi untuk berjuang
dalam menyekolahkan anaknya. Walaupun dalam kondisi social 40 Menurut Martusubroto – seperti
yang dikutip oleh Syahrizal (2000 : 5 ) – bahwa hampir 90% nelayan di Indonesia masih berskala
kecil dan lebih dari 60% dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Ini artinya bahwa
sebagian besar nelayan Indonesia masih nelayan tradisional, karena mereka masih menggunakan
perahu-perahu kecil untuk mencari ikan dan hasil yangndidapat biasanya juga untuk memenuhi kebutuhan primer
sehari-hari. Mereka lebih dipengaruhi oleh
pengetahuan rakyat dalam kaitannya dengan pekerjaan mereka sebagai nelayan
karen akses kepada ilmu
pengetahuan modern hampir tidak ada. yang
kurang semapan di perkotaan.
Dasar
dari tindakan motivasi mereka dalam memperjuangkan hidup ditandai dengan
keinginan untuk maju dengan melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Tetapi
kondisi atau kenyataan yang mereka lihat tidak ada kesempatan atau
peluang untuk mengeluarka mereka dari kehidupan yang sulit. Nelayan
miskin menjelaskan hal yang menyebabkan mereka tidak bias meningkatkan
pendapatannya adalah peralatan yang kurang, hasil laut yang tidak banyak
lagi, banyaknya nelayan luar yang menangkap ikan disekitar daerah
tangkapan mereka, dan pemerintah yang tidak memperhatikan nasib nelayan.
Hal-hal yang mendasari motivasi nelayan miskin tersebut adalah berkaitan
dengan rendahnya sumberdaya manusia, rendahnya sumberdaya pendukung
ekonomi, kurangnya kemauan untuk memanfaatkan peluang, dan struktur
masyarakat nelayan itu sendiri.
C. Persepsi
Masyarakat Nelayan Terhadap Guru Pendidikan Agama Islam yang Ideal
Banyak
teori-teori yang mengatur tentang idealitas seorang guru pendidikan Agama Islam
(PAI). Baik terkait aktivitasnya dalam lingkungan sekolah, maupun aktivitas
guru di luar lingkungan sekolah. Jika kita mengacu pada undang-undang tentang
guru yang dibuat oleh pemerintah, maka ada 4 (empat) kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang guru, yaitu: memiliki Kompetensi Paedagogiek, memiliki
Kompetensi Kepribadian, memiliki Kompetensi Sosial, Memiliki Kompetensi
Profesional. Kompetensi Paedagogik berkaitan dengan kemampuan guru
dalam menghidupkan pengajaran di kelas. Ada sepuluh kemampuan dasar guru itu (1)
kemampuan menguasai bahan pelajaran yang disajikan; (2) kemampuan mengelola
program belajar mengajar; (3) kemampuan mengelola kelas; (4) kemampuan
menggunakan media/sumber belajar; (5) kemampuan menguasai landasan-landasan
kependidikan; (6) kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar; (7) kemampuan
menilai presentasi peserta didik untuk kependidikan pengajaran; (8) kemampuan
mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan; (9) kemampuan
mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah; dan (10) kemampuan memahami
prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan
pengajaran.
Kompetensi
Kepribadian berkaitan dengan akhlakul kharimah seorang pengajar. Dilihat dari
aspek psikologi, kompetensi kepribadian guru mennunjukkan kemampuan personal
yang mencerminkan kepribadian (1) mantap dan stabil yaitu memiliki konsistensi
dalam bertindak sesuai norma hokum, norma sosial, dan etika yang berlaku; (2)
dewasa yang berarti mempunyai kemandirian untuk bertindak sebagai pendidik dan
memiliki etos kerja sebagai guru; (3) arif dan bijaksana yaitu tampilannya bermanfaat
bagi peserta didik, sekolah, dan masyarakat dengan menunjukkan keterbukaan dalam
berpikir dan bertindak; (4) berwibawa yaitu guru yang disegani sehingga
berpengaruh positif terhadap peserta didik; (5) memiliki akkhlak mulia dan
memiliki perilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik, bertindak sesuai
norma religius, jujur, ikhlas, dan suka menolong.
Kompetensi kompetensi sosial terkait dengan
kemampuan guru sebagai makhluk sosial dalam berinteraksi dengan orang lain.
Sebagai makhluk social guru berperilaku santun, mampu berkomunikasi dan
berinteraksi dengan lingkungan secara efektif dan menarik, mempunyai rasa
empati terhadap orang lain. Kemampuan guru berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan menarik dengan peserta didik, sesama pendidik dan tenaga
kependidikan, orang tua dan wali peserta didik, masyarakat sekitar sekolah dan
sekitar dimana pendidik itu tinggal, dan dengan pihak-pihak berkepentingan
dengan sekolah. Kondisi objektif ini menggambarkan bahwa kemampuan sosial guru tampak
ketika bergaul dan melakukan interaksi sebagai profesi maupun sebagai
masyarakat, dan kemampuan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kompetensi
professional mengacu pada perbuatan (performance) yang bersifat rasional dan
memenuhi spesifikasi tertentu dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan.
Mengenai perangkat kompetensi professional biasanbya dibedakan profil
kompetensi yaitu mengacu kepada berbagai aspek kompetensi yang dimiliki
seseorang tenaga professional pendidikan dan spectrum kompetensi yaitu mengacu
kepada variasi kualitatif dan kuantitatif. Perangkat kompetensi yang dimiliki
oleh korps tenaga kependidikan yang dibutuhkan untuk mengperasikan dan
mengembangkan sistem pendidikan.
Padahal untuk
meningkatkan ke-profesionalitas-an seorang guru, pemerintah mewajibkan seorang
pengajar minimal berijazah S1. Selain itu, ada faktor lain di lapangan bahwa,
pendidik di Mayangan tidak harus berijazah strata 1, hanya cukup lulusan pondok
yang sudah lama mempelajari agama Islam. Jadi terkait pembuatan RPP maupun
Skema pembelajaran berjalan apa adanya. Faktor tersebut manjadi faktor
eksternal mengenai persepsi guru PAI yang ideal di Masyarakat Pesisir. Guru PAI
yang ideal di mata masyarakat Pesisir adalah guru yang mempunyai akhlak baik,
dan mampu membimbing ke agama yang benar, atau secara sederhana mampu mengajari
putra-putrinya belajar ngaji dan mengerti kehidupan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan analisis temuan hasil penelitian tentang “Guru Pendidikan Agama
Islam (PAI) yang Ideal dalam Persepsi Masyarakat Nelayan (Study di Kelurahan
Mayangan Kota Probolinggo)” dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Profil
guru pendidikan agama Islam secara teoritis beracuan pada UU No.14 tahun 2005
tentang guru dan dosen yang membahas kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki
oleh seorang guru. Yakni: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian
(personal), kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Keempat kompetensi guru
itu menjadi acuan sosok guru dalam kinerjanya di sekolah dan masyarakat.
2. Kondisi
sosial masyarakat di Kelurahan Mayangan Mayoritas beragama Islam dan
berpencaharian sebagai nelayan. Setiap hari mereka hidup bergantung pada hasil
laut. Jika hasil laut melimpah, maka akan makmur kehidupannya. Begitu pula
sebaliknya, jika kondisi laut tidak memungkinkan untuk berlayar mencari ikan, mereka
banyak yang menjadi pengangguran dan sulit untuk mencukupi kehidupan
sehari-hari. Para nelayan di KelurahanMayangan juga masih berpendidikan rendah
yaitu maksimal berpendidikan SMA dan mayoritas masih dalam jenjang SMP.Karena keahlian
melaut tidak membutuhkan jenjang pendidikan yangtinggi.bisa dipelajari dengan
masyarakat lain atau secara turuntemurun. Namun, perhatian terhadap pendidikan
tidak kalahnya dengan masyarakat kota, masyarakat nelayan juga mempunyai kepedulian
yang sangat tinggi terhadap pendidikan anaknya. dibuktikan dari beberapa
informan yang tetap menyekolahkan anaknya mulai dari jenjang SD, SMP, SMA
hingga kuliah.
3. Temuan
di lapangan mengungkapkan bahwa dari keempat kompetensi peserta didik yang coba
digagas oleh pemerintah, aspek kompetensi profesional dan Pedagogik tidak
menjadi titik berat dalam criteria guru ideal perspektif masyarakat nelayan di
Kelurahan Mayangan kota Probolinggo. Artinya, masyarakat nelayan tidak terlalu
mementingkan kemampuan mengajar guru di kelas dan kedalaman keilmuan yang dimiliki
seorang guru agama. Walaupun kedua hal tersebut tetap menjadi pertimbangan
dalam memilih guru agama yang mampu mengelola suasana kelas dengan baik dan
memahami materi secara mendalam.Sedangkan dua kompetensi lainnya (sosial,
kepribadian) dianggap penting oleh masyarakat.Karena, kedua kompetensi itu dalam
aplikasi bersentuhan langsung dengan peserta didik di sekolah dan terkait
interaksinya dengan masyarakat sekitar. penulis analisis terkait dengan
minimnya informan tentang referensi guru PAI yang baik menurut pemerintah. Hal
ini juga disebabkan karena kesibukan para informan untuk menghidupi diri maupun
keluarga, dan setiap hari berjuang di tengah laut untuk mencari uang yang
banyak. Guru PAI yang ideal di mata masyarakat Pesisir adalah guru yang
mempunyai akhlak baik, dan mampu membimbing ke agama yang benar, atau secara
sederhana mampu mengajari putra-putrinya belajar ngaji dan mengerti kehidupan.
[1] Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia no. 74 tahun 2008 tentang guru pasal 1 no. 1
untuk
Indonesia,
(Gramedia, Yogyakarta, 2002)
[3] Undang-undang Guru dan
Dosen,op.cit., hlm. 7
[4] Undang-undang Republik
Indonesia, SISDIKNAS (Bandung: Fokus Media, 2006 ), hlm. 77-78
Sekolah
(Bandung: PT. Rosdakarya, 2008), hlm. 115
Operasionalisasinya
(Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 173
[7] Mulyasa, Standar kompetensi dan
Sertifikasi Guru,Op.cit., hlm. 75
[8] Zakiah Daradjat, dkk, Op.cit.,
hlm. 19
[9] Depag RI, Op.cit., Departemen
Agama, Wawasan Tugas Guru dan Tenaga Kependidikan (Jakarta: Direktorat
Jenderal
Kelembagaan Agama Islam, 2005), hlm. 46-47hlm. 192
Jenderal
Kelembagaan Agama Islam, 2005), hlm. 46-47
[11] Ibid., hlm. 47
[12] Mulyasa, Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (Bandung: Rosda karya, 2006), hlm.46
No comments:
Post a Comment